Keluhan Petani Bawang , Tanah Yang Rusak , Kepastian harga ,Pungli Merajalela , Premanisme Hantui Petani Bawang Brebes , Kinerja Mentan Dan Satgas Pangan Dipertanyakan

0
661

TINTARIAU.COM Brebes Kamis ,31 /01 / 2019 –  Petani Bawang Brebes Dalam Cengkraman Tanah Rusak, Hama Penyakit, Saprodi Palsu, Ketidakpastian Harga Sampai Premanisme dan Pungli. Ketum Petani: Apa dan Mau Kemana Kinerja Mentan dan Satgas Pangan?

(Brebes, Sabtu/26/01/2019). Lebih banyak duka Petani bawang merah di Brebes, itu ungkapan keluhan yang banyak disampaikan peserta ‘Sarasehan Potensi Benih Lokal Bawang Merah’ yang diadakan oleh Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Persaudaraan Mitra Tani Nelayan Indonesia (Petani) Kabupaten Brebes di Dukuh Curug, Kelurahan Kedungbokor, Kecamatan Larangan, Kabupaten Brebes pada hari Sabtu tanggal 26 Januari 2019.

Sarasehan yang dihadiri Ketua Umum Petani Satrio Damardjati didampingi salah satu perwakilan badan otonom Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Petani yakni Kepala Laboratorium Kedaulatan Pangan dan Agribisnis Kerakyatan (Lab.KPAK) Petani Unit Riau Sahat Mangapul Hutabarat ini selain mengupas potensi benih lokal bawang merah, juga mendengar langsung apa saja yang dialami para anggota Kelompok Petani Bawang Merah dan bersama-sama mengambil kesimpulan untuk mencari jalan keluarnya,

“Sudah menjadi mata pencaharian kami, meski rugi dengan harga yang rendah seperti saat panen raya ini, kami Petani bawang merah disini tidak kapok-kapok, namanya usaha yah tidak boleh kapok. Walaupun harga kadang murah dan berharap sekali kali mahal tapi kami tetap menanam bawang merah.

Selain itu, baik dinas pemerintah kabupaten terkait ataupun pemerintah pusat belum pernah datang sekalipun untuk mengatasi carut marut kondisi Petani Bawang” kata Domiri Lurah Kedungbokor yang juga berprofesi Petani Bawang Merah mengawali sarasehan yang digelar sederhana ditikar ala Petani di rumah ibu Yati pengurus DPC Petani Kab. Brebes ini.

Di sarasehan ini para Petani menyebutkan harga bawang merah di tingkat Petani per Sabtu 26 Januari 2019 di Brebes sangat rendah. Bawang merah cabut potong dirogol 2 sampai 3 hari untuk ukuran Super Cross Rp.7.000, ukuran Sedang Rp 6.000, ukuran Kecil Rp 4.000. Menurut para Petani bawang merah di sarasehan ini harga BEP adalah Rp 12.000. Kendalanya banyak sekali, tanah sudah ‘bacek’ (Tanah yang sudah tidak subur) tidak ada istirahat, terus ditanam.

Pada musim-musim tertentu banyak hama, biaya produksi semakin tinggi di Kabupaten Brebes, harga pupuk, obat-obatan sudah sangat luar biasa mahal. “Meski harga sarana produksi pertanian (saprotan) tinggi, Petani mau tidak mau harus membeli, karena itu dibutuhkan, karena sudah ditanam, ya harus diopeni, mesti dirawat. Karena sudah ditandur, mau tidak mau hutang juga tidak apa apa.” kata pak. Rawid sesepuh dan juga anggota Kelompok Petani Bawang Merah.

Pak. Rawid juga menambahkan, “Ketika dimana-mana ada serangan ulat. Ekspor bawang merah Brebes tidak bisa ekspor karena kandungan pestisida tinggi. Belum lagi persoalan hama ada dimana-mana hampir se-Kabupaten Brebes, memakai pestisida yang biasa sudah tidak mempan sehingga jika ada produksi baru obatan yang satu botol kecil dengan harga mencapai Rp. 300.000 sampai dengan Rp.330.000, anggapan kami (Petani) otomatis botol kecil harga tinggi tentu kandungan nya tinggi dan dianggap mampu mengatasi hama,

mau gak mau dibeli agar panen lebih bagus. Tapi efeknya ya seperti ini, sehingga Bawang Merah di Kabupaten Brebes kandungan pestisidanya tinggi. Karena kondisi alam di Kabupaten Brebes sudah berubah, hama sudah kebal, harga saprotan tinggi sangat mahal, bagaimana cara Petani mengatasi harga saprotan yang tinggi. Dengan berharap ada pupuk subsidi tapi tanaman yang diberi urea, pupuk subsidi hanya urea itu tidak diharapkan, karena tidak cocok untuk Bawang Merah di Kabupaten Brebes.” tambahnya pak Rawid.

Jumarso dari Asosiasi Bawang Merah Indonesia (ABMI) yang diundang dan hadir mengungkapkan, “Pestisida, Herbisida dan Pupuk sudah ada lembaga pengawasannya, tapi kurang jalan, ternyata banyak pestida palsu dan pupuk palsu, kami para Petani secara akurat dan empiris tidak punya kemampuan membedakan yang asli atau palsu. Kami berharap Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KP3) berjalan,

Kapolres Brebes yang baru mengatakan akan mengoptimalkan peran KP3 selain itu kami juga mengharapkan ada razia rutin terhadap peredaran pupuk, pestisida, herbisidada  ke toko saprodi dan jika ada yang palsu dan menipu Petani dipidanakan saja.” tambah Jumarso.

Di sarasehan terungkap, belum ada kekompakan dan pendidikan yang massif diberikan dikalangan Petani, seperti ulat yang sudah disemprot, sampahnya seharusnya tidak dibuang sembarangan. Penangan yang salah ini akibatnya ulat bisa bereinkarnasi lagi bahkan ulat ini sudah lebih tahan, bertelor menjadi ulat dan lebih kebal.

Terungkap juga sekarang ini Petani bawang Brebes sudah biasa menyemprot pestisida untuk mengatasi wabah hama 2 hari sekali. Bulog yang diharapkan bisa mengatasi harga bawang yang rendah, ternyata belum memperlihatkan perannya, meski sudah ada gudang penyimpanan dengan sistem pengkondisian udara sudah ada di komplek Pergudangan Kamplok Kec. Wanasari.

Ketua Umum Petani Satrio Damardjati didampingi salah satu perwakilan badan otonom DPN Petani yakni Kepala Lab.KPAK Petani Unit Riau Sahat Mangapul Hutabarat yang turut hadir dalam acara Sarasehan ini mengatakan, “Sesuai dengan dasar Negara kita Pancasila ini, semua permasalahan ini harus diatasi secara gotong royong, mensinergikan bersama, mulai dari para Petaninya, pemerintah setempat bahkan sampai pemerintah pusat. Dimulai dari Petani bawang

Brebes berdaulat benih mampu berdikari menjadi pemulia benih, sesuai dengan salah satu misi Petani yang tertuang di dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD-ART) Petani yaitu ‘Gerakan Nasional Lumbung Benih Tani Mandiri. Selain itu juga terbukti dengan apa yang dialami para Petani disini (Brebes), bahwa ekologi Brebes rusak, hama semakin susah diatasi, saprodi semakin mahal,

bawang yang dikonsumsi sudah semakin tidak sehat, tadi juga terungkap disini, bahwa bawang merah Brebes tidak layak di eksport karena kandungan pestisidanya sudah sangat tidak layak, sudah sewajarnya kita (Petani) kembali dengan cara budi daya yang ramah lingkungan dan menghasilkan produk sehat dan terbukti jika kita bisa menjaga keseimbangan alam, ongkos produksi juga bisa ditekan.” kata Ketua Umum Petani ini.

Ketua Umum Petani Satrio Damardjati  juga menambahkan, “Mengapa patokan harga Petani bawang  di sini  hanya pasar Cibitung, nah kita cari jalan keluarnya. Tadi sewaktu turun ke sawah (lahan) sebelum sampai di acara sarasehan ini, selalu yang diomongin para Kelompok Petani Bawang adalah pasar Cibitung. Siapa yang main, mafia mana yang merajalela?

Hanya 3 orang pemain besar di Cibitung, apakah selain di Cibitung para Kelompok Petani Bawang Merah pernah lelang hasil panennya? Mengapa harus di Cibitung, mengapa kita tidak lelang saja di Brebes seperti yang dilakukan di salah satu basis produksi Kelompok Petani Cabai di Trisik, Kabupaten Kulonprogo yang terbukti mampu mengangkat harga cabai hasil panen Kelompok Petani disana.” tambahnya Satrio.

Jumarso dari ABMI mengatakan, “Sudah pernah dibuat lelang bawang disini, tapi banyak kendalanya yaitu timbangannya dimainkan dan banyak premanisme, sehingga sistem lelang ini tidak berjalan lagi.” katanya.

Sebelum penutupan acara sarasehan ini Ketua Umum Petani Satrio Damardjati mengatakan, “Mau sampai kapan Petani Bawang Merah Brebes selalu dalam pusaran cengkraman ketidakadilan sosial ini? Petani akan selalu terbuka mengajak semua elemen terkait untuk mewujudkan Kedaulatan Pangan dalam Negara Gotong Royong,

tetapi kalau Menteri Pertanian (Mentan) ataupun Satgas Pangannya tidak serius mewujudkan hal tersebut, mau apa dan kemana serta kerja untuk siapa Mentan dan Satgas Pangannya tersebut selama ini?” tutupnya Ketua Umum Petani ini.

( Redaksi / Tr 07 )

 

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini