JAKARTA — Pemerintah menyiapkan dua kebijakan utama guna memulihkan daya beli kelompok kelas menengah pada 2026. Upaya ini dinilai mendesak karena perlambatan konsumsi rumah tangga terus menekan kontribusi konsumsi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Dilansir dari Republika.co.id, Tenaga Ahli Utama Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luthfi Ridho menegaskan konsumsi rumah tangga perlu kembali diperkuat agar ekonomi dapat tumbuh lebih optimal.
“Tren konsumsi rumah tangga turun, dan ini yang ingin kami balikkan. Kelas menengah harus percaya diri atas peluang pendapatan ke depan,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (13/11/2025).
Dua Kebijakan Baru Disiapkan
Luthfi menyebutkan, pemerintah fokus pada dua langkah strategis: penyempurnaan formula Upah Minimum Provinsi (UMP) agar lebih seimbang, serta debottlenecking regulasi investasi, termasuk penyederhanaan aturan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN).
“Semoga keduanya bisa menjawab turunnya daya beli. Tapi output-nya tetap perlu kerja sama semua pihak agar Indonesia semakin kompetitif,” kata Luthfi.
Konsumsi Melambat
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan ekonomi Indonesia tumbuh 5,04 persen pada kuartal III 2025. Konsumsi rumah tangga tetap menjadi penopang utama dengan kontribusi 53,14 persen terhadap PDB. Namun, pertumbuhan konsumsi melambat menjadi 4,89 persen (yoy) dan 4,94 persen (ctc), lebih rendah dibanding periode yang sama 2024.
Peluang Pemulihan 2026
Chief Economist Permata Bank Josua Pardede menilai capaian tersebut masih sesuai ekspektasi pasar. Ia melihat peluang pertumbuhan ekonomi lebih baik pada 2026 jika daya beli kelas menengah berhasil dipulihkan.
“Pertumbuhan tahun depan berpeluang lebih baik dari tahun ini. Kuncinya ada pada sinergi kebijakan internal, yakni fiskal, moneter, dan sektor riil, sembari memberi ‘vitamin C’, yaitu confidence. Demand dan supply harus dijaga bersama,” ujarnya.
Josua menambahkan bahwa perlambatan konsumsi pada kuartal III bersifat musiman. Namun data BPS tetap menunjukkan penurunan kemampuan belanja kelompok menengah. “Tapi memang data BPS menunjukkan daya beli kelas menengah turun,” katanya.
Pengaruh Situasi Sosial-Politik
Sementara itu, Chief Economist The Indonesia Economic Intelligence (IEI) Sunarsip menilai pertumbuhan kuartal III berada pada level optimal mengingat tensi sosial-politik pada Juli–September yang menahan laju aktivitas bisnis.
“Dunia usaha tidak bergerak, konsumsi rumah tangga pun stagnan. Tanpa konsumsi pemerintah, pertumbuhannya bisa lebih rendah lagi,” ujar Sunarsip.
Ia menekankan pentingnya penguatan sisi suplai untuk membuka lapangan kerja baru.
“Sentuhlah sektor riil, hilangkan bottleneck pembiayaan. Kalau ini disentuh, tanpa insentif fiskal pun kita bisa tumbuh lebih dari 5 persen tahun depan,” kata dia.
Dengan sederet rekomendasi tersebut, pemerintah diharapkan mampu menyusun paket kebijakan yang tidak hanya memulihkan kepercayaan kelas menengah, tetapi juga mendorong daya saing ekonomi nasional secara lebih luas.














